Diskusi Publik, tahun 2016 di UIN Sunan Kalijaga
Mahasiswa saat
ini sudah menjadi batang pohon rapuh yang gampang diterpa angin. Tak luput dari dosa masa lalu, mahasiwa sudah
kehilangan girah sebagai orang yang seharusnya bisa berfikir dan lebih peka
terhadap permasalahan yang ada pada saat ini. Tapi ruh yang mengisi jasad
mahasiswa tinggallah cerita belaka dan hanya menjadi robot buatan yang siap
diatur oleh penciptanya. Mahasiswa yang seharusnya memiliki sikap intelektual
sekarang hanyalah dongeng anak pengantar tidur para penguasa.
Orang
intelektual adalah pencipta sebuah bahasa yang mengatakan yang benar kepada
yang berkuasa[1]. Banyak
mahasiswa yang katanya kaum terpelajar yang diagung-agungkan tapi malah
diperbudak oleh kekuasaan. Yang seharusnya berfikir kritis terhadap lingkungan
dan masyarakatnya malah menjadi apatis dan seolah-olah mereka tuli terhadap
permasalahan yang ada. Sudah menjadi
budaya yang hampir semua orang ingin lakukan yaitu sekolah sampai ke jenjang
pendidikan, tapi apakah ini pertanda bahwa kebanyakan orang sudah sangat
membutuhkan pendidikan.
Melihat
kondisi kecil dari gambaran situasi negara yang tercakup dalam miniatur negara
yang biasa kita sebut sebagai kampus. Artinya bahwa terdapat negara kecil yang
menjadi tempat tujuan orang banyak yang ingin menjadi rakyatnya. Bahkan sampai
berkompetisi dan dipanitiakan untuk bisa diterima sebagai rakyatnya kampus.
Bukan itu yang menjadi persoalan utama yang dibicarakan, tapi apa yang menarik
dibicarakan adalah ketika orang-orang yang sudah menjadi rakyatnya tetapi lupa
dengan tempat asalnya ibarat pepatah mengatakan kacang lupa kulitnya. Tempat
yang seharusnya dia kembali lagi setelah dari negara ini dan mengembangkan
tempat asalnya malah berubah menjadi pengusik tempatnya sendiri.
Mahasiswa
harus bisa menjadi pendorong dan penggerak dalam putaran roda kehidupan serta mengembangkan
sayapnya untuk terbang keatas menuju kearah kemajuan untuk bisa menghadirkan
keadilan dan kesejahteraan rakyat. Semua manusia pastilah terus bergerak yang
terus terjadi. Gerakan haruslah menjadi sistem penting yang dibutuhkan oleh
manusia ibarat sistem peredaran darah yang terus berlangsung. Gerakan yang
dilakukan haruslah menuju kearah perkembangan kemajuan yang terus menjadi lebih
baik dari waktu ke waktu, bukan malah mengalami kemunduran yang berujung pada
kerusakan dan kehancuran.
Gerakan
mahasiswa saat ini sudah tidak pada jalurnya, gerakan yang terjadi hanya
sebagai rupa dari bentuk sebuah protes karena dimaknai sebagai pernyataan tidak
menyetujui, menentang atau menyangkal. Sehingga dapat diartikan sebagai usaha
yang bersifat spontanitas, tidak terarah, tidak terorganisir, tidak bergerak
maju, serta tidak melihat kondisi objektif lingkungan sosial. Sebuah protes
hanya terjadi sekilas saja ketika merasa tersentuh bahkan terusik atau terganggu
oleh permasalahan yang menyangkut dirinya barulah berbicara atau bisa disebut
dengan tindakan emosional semata. Berbeda dengan gerakan yang memiliki
karakteristik yang dibangun oleh sebuah kesadaran yang rasional, cenderung
memiliki bekal strategi dan manajemen yang baik, dan berasal dari sebuah wujud
sosial yang spesifik.
Gerakan
mahasiswa dibagi menjadi dua yaitu gerakan fungsional dan gerakan struktural.
Gerakan struktural adalah gerakan yang dilakukan dalam lingkungan masyarakat
umum atau biasa disebut dengan tingkatan rakyat yang membahas permasalaan
sosial dan isu-isu politik dengan melaksanakan, menolak, atau mengkampanyekan
sebuah perubahan sosial. Sedangkan gerakan fungsional adalah gerakan yang
membahas permasalahan terkait elitis yang arah pergerakannya mengacu pada
moralitas yang bersifat parsial terkait masalah dalam tatanan birokrasi atau
atasan.
Dalam sejarah
pergerakan mahasiswa tidak lepas dari perjuangan generasi muda terutama kaum
muda intelektual. Generasi muda Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari bangsa Indonesia, yang menderita dan berharap. Generasi muda Indonesia
adalah hati nurani bangsa yang berbicara, jiwa bangsa yang menyala, yang akan
mewarnai masa depan. Pola berpikir kaum terpelajar yang jumlahnya relatif sedikit
berbanding dengan jumlah penduduk, mau tak mau memikul beban tanggung jawab
memperbaiki masyarakat. Dalam massyarakat penjajahan, mereka cepat sekali
mengalami kenyataan keras dan pahit. Mereka melihat dengan mata kepala sendiri
betapa massa rakyat menderita dalam keadaan sengsara dan tertindas. Hal
tersebut membuat mereka berketetapan hati untuk ikut menentukan nasib bangsa
menuju arah yang tepat. Hasrat perubahan itu tumbuh pada awalnya di kalangan
individu-individu. Kemudian, hal ini meningkat dalam suatu pergerakan melalui
organisasi yang modern. Begitulah sebagaimana terjadi di kalangan mahasiswa
STOVIA. Peristiwa-peristiwa di masyarakat luar dan dalam negeri menyentuh jiwa
para pelajar STOVIA di Jakarta, terutama jiwa seorang pemuda berusia 19 tahun
bernama Soetomo. Soetomo mendatangi kelas-kelas di STOVIA seraya mengajak untuk
menguak ke alam pemikiran yang lebih luas. Demikian anak muda usia itu
bersepakat untuk berkumpul pada tanggal 20 Mei 1908 yang dimulai dengan berdirinya organisasi modern pertama dalam
sejarah bangsa Indonesia yang bernama Budi Utomo yang diketuai oleh Soetomo[2].
Gema Budi
Utomo terasa di seluruh Indonesia, bahkan pengaruhnya sampai ke luar negeri
terutama Negeri Belanda. Sekelompok mahasiswa mendirikan organisasi dengan nama
Indische Vereniging. Pada mulanya organisasi ini bergerak di bidang sosial,
yang sama sekali tidak mempunyai kepentingan politik. Tiga serangkai pemimpin
Indonesia yang dibuang Belanda yaitu dr. Tjipto Mangunkusumo, Suwardi
Suryadiningrat dan dr. Deuwis Dekker memasukkan unsur politik. Nama perkumpulan
berubah tahun 1921 yaitu menjadi Indonesisce Vereniging karena perkembangan
lain ialah datangnya mahsiswa baru yang sebelumnya berpengalaman dalam
organisasi pemuda di Indonesia. Pikiran-pikiran tentang persatuan rakyat, hak
mengatur diri sendiri, demokrasi, menolong diri sendiri, pembentukan kekuatan,
non-koperasi, semuanya itu dianut oleh Indonesisce Vereneging sejak 1922 dan
seterusnya sampai mereka mengubah nama tahun 1924 dengan “Perhimpunan Indonesia”.
Selain itu mereka jelas-jelas menampakkan warna politik dan kehendak ke mana
ditujukan muara cita-cita sebagai bangsa terjajah. Kegiatan organisasi gerakan
pemuda maupun mahasiswa sampai pada prestasi puncaknya pada tanggal 28 oktober
1928 dengan lahirnya Sumpah Pemuda di Jakarta. Terkenal ringkasnya dengan Satu
Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa yaitu Indonesia.
Gerakan
pemudalah yang berhasil mendesak Soekarno-Hatta melalui penculikan untuk segera
memproklamirkan Kemerdekaan RI. Kemerdekaan Indonesia tidak terlepas dari
semangat perjuangan kaum muda. Keberhasilan mereka ini merupakan puncak
prestasi berikutnya setelah Sumpah Pemuda ialah melahirkan proklamasi
kemerdekaan pada tanggal 17 agustus 1945. Tapi, pekerjaan belum selesai.
Belanda datang dengan maksud menjajah kembali. Timbul konflik besar antara
Belanda dan pihak Indonesia. Mereka mempertaruhkan segenap jiwa raga mereka dan
dengan tabah karena bersenjatakan suatu keyakinan bulat dan teguh bahwa
Kemerdekaan Indonesia harus dipertahankan. Tanggal 27 Desember 1949 Belanda
menyerahkan kedaulatan pada Indonesia. Kini Indonesia merdeka sepenuhnya dan
diakui dunia internasional.
Negara
Indonesia berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS)[3].
Hal ini jelas menyimpang dari cita-cita perjuangan yang tercerminkan dalam
persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Pada masa inilah rasa persatuan di
kalangan generasi muda luar biasa yaitu kesadaran tinggi untuk ikut
berpartisipasi dalam mewujudkan cita-cita bangsa. Masa-masa ini tidak bertahan
lama karena hantu perpecahan dan saling kecurigaan berjangkit di kalangan
generasi muda tatkala pemilihan umum pertama diadakan tahun 1955. Partai-partai
politik mulai memasuki organisasi-organisasi pemuda dan mahasiswa yang militan
itu. Mereka memakai tenaga-tenaga yang penuh vitalitas ini demi kepentingan
partainya sendiri. Perpecahan ini makin kelihatan dan tak terelakkan di masa
berlakunya sistem pemerintahan dengan demokrasi terpimpin. Generasi muda
bergelimang dalam suhu dan semangat politik yang tinggi. Dua kelompok saling berhadapan
yaitu kelompok anti-komunis dan kelompok komunis seraya menunggu ledakan
situasi. Peledakan situasi ini muncul pada akhirnya, yaitu Gerakan 30 September
1965. Pada tahun 1966 pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam
perjuangan yang ikut mendirikan Orde Baru. Gerakan ini dikenal dengan istilah
angkatan ’66 mengangkat isu Komunias sebagai bahaya laten negara. Setelah orde
lama berakhir, aktivis angkatan ’66 mendapat hadiah yaitu dengan banyak yang
duduk di kursi DPR/MPR serta diangkat dalam kabinet pemerintahan orde baru.
Perkembangan
gerakan mahasiswa berlanjut tahun 1974 yang dikenal dengan gejolak Malari yang
mana pada dasarnya adalah konflik elite penguasa yang terkena dampaknya adalah
pergerakan mahasiswa, sehingga mahasiswa banyak yang diculik, ditahan dan
diadili. Sebenarnya para mahasiswa telah melancarkan berbagai kritik dan
koreksi terhadap praktek kekuasaan rezim orde baru yang kemudian menghasilkan
gerakan secara nasional.
Menjelang
Pemilu dan setelah pemilu 1977, barulah muncul kembali pergolakan mahasiswa
dengan berbagai masalah pentimpangan politik diangkat sebagai isu, gerakan ini
juga mengkritik strategi pembangunan dan kepemimpinan nasional. Pemerintah
berusaha untuk melakukan pendekatan terhadap mahasiswa, namun upaya ini ditolak
oleh mahasiswa. Pada periode ini terjadi pendudukan militer atas kampus-kampus
karena mahasiswa dianggap telah melakukan pembangkangan politik. Hal inilah
kemudian mneyebabkan NKK/BKK pada tahun 1978 sehingga menimbulkan pengkandangan
pergerakan mahasiswa di dalam kampus supaya dapat melanggengkan kekuasaan.
Dengan konsep NKK/BKK ini, maka peranan yang dimainkan organisasi intra dan
ekstra kampus dalam melakukan kerjasama dan transaksi komunikasi politik
menjadi lumpuh. Ditambah dengan muncul UU No.8/1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan maka poltik praktis semakin tidak diminati oelh mahasiswa karena
sebagian ormas bahkan menjadi alat pemerintah atau golongan politik tertentu.
Kondisi ini menimbulkan generasi kampus yang apatis, sementara posisi rezim
semakin kuat.
Gerakan 1998
menuntut reformasi dan dihapuskannya KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) pada
1997-1998, lewat pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa, akhirnya
memaksa Presiden Soeharto melepaskan jabatannya. Berbagai tindakan represif
yang menewaskan aktivis mahasiswa dilakukan pemerintah untuk meredam gerakan
ini diantaranya: peristiwa cimanggis, gejayan, tragedi trisakti, targedi
semanggi, dan tragedi lampung. Gerakan ini terus berlanjut hingga pemilu tahun
1999.
Setelah
jatunya Soeharto pada peristiwa 1998, Gerakan Mahasiswa mengalami sedikit
penurunan dan mulai terkikis.Gerakan mahasiswa mengalami sedikit kebingungan
orientasi walaupun pada saat ini masih ada dan tidak begitu dikekang namun
kesadaran nasionalisme dan cita-cita gerakan mahasiswa mulai lambat alun redup.
Gerakan mahasiswa saat ini hanya melakukan kegiatan berupa aksi protes, pintar
berbicara di ruang kecil, hanya mementingkan idiologi masing-masing yang
artinya mengandalkan bendera masing-masing partai tanpa mengindahkan adanya
persatuan. Kembali melihat realitas mahasiswa zaman sekarang yang masih menjadi
harapan banyak orang untuk menjadi penerus bangsa yang katanya merupakan kaum
intelektual yang terdidik dan terpelajar. Kita sebagai mahasiswa haruslah
memiliki kepedulian sosial terhadap apa yang terjadi di dalam masyarakat. Karena
mahasiswa berasal dari rakyat dan nantinya sendiri akan kembali ke asalnya lagi
yaitu ikut menyatu dengan rakyat.
Perjuangan
bangsa Indonesia tidak lepas dari keikutsertaan dari para pemuda dan mahasiswa
yang mana menjadi tonggak sejarah panjang yang harus dipahami bersama. Namun
masih adakah sisa dari semangat perjuangan tersebut yang bisa mengubah dan
membawa masa depan Indonesia kearah kemajuan. Ketika disebut kata pemuda.
Seketika yang ada dalam benak kita adalah idealisme, cerdas, kreatif, dan
potensi positif lainnya. Pemuda dan episode kehidupannya penuh dengan warna dan
dinamika. Tatkala penindasan terjadi dalam suatu masyarakat dan bangsa, para
pemuda tampil melakukan perlawanan. Ketika kebekuan melanda kehidupan, para
pemuda muncul melakukan pendobrakan.
“ Berjuang
bersama rakyat merebut demokrasi sejati, tunduk tertindas atau bangkit melawan,
sebab mundur adalah penghianatan. Takkan Mundur walau terbentu takkan mengeluh
walau terjatuh”.
Salam Demokrasi!!!
referensi
[1] Edward
W. Said, PERAN INTELEKTUAL Kuliah-kuliah Reith Tahun 1993, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 1998, hlm xi
[2] Yozar
Anwar, PERGOLAKAN MAHASISWA ABAD KE-20 Kisah Perjuangan Anak-anak Muda
Pemberang, Penerit Sinar Harapan, Jakarta, 1981, hlm 233
[3] Yozar
Anwar, PERGOLAKAN MAHASISWA ABAD KE-20 Kisah Perjuangan Anak-anak Muda
Pemberang, Penerit Sinar Harapan, Jakarta, 1981, hlm 241